Bentuk Perusahaan Industri Pertahanan Belum Dapat Disepakati
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI belum dapat menyepakati isi pasal 27 RUU tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Pertahanan yang diusulkan oleh Komisi I DPR sehingga RUU tersebut belum dapat diambil keputusan pada Rapat Pleno Baleg.
Keputusan tersebut diambil saat rapat dengan Komisi I DPR sebagai Pengusul, Rabu (26/19) yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah.
Dimyati mengatakan, pada rapat sebelumnya (24 Oktober), ada dua permasalahan pokok yang belum mendapat kesepakatan, yaitu yang terkait dengan keberadaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan bentuk perusahaan industri pertahanan.
Rapat kali ini pun mayoritas anggota Baleg belum dapat menyepakati isi pasal 27 tersebut dan meminta untuk dipertimbangkan ditata lagi supaya menghasilkan UU yang bagus.
Ada dua alternatif terkait dengan pasal 27. Alternatif pertama dari Pengusul yang berbunyi, satu, Publik dapat melakukan investasi langsung kepada industri utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. Ke dua, dalam investasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa adanya peralihan kepemilikan saham dan ke tiga, ketentuan lebih lanjut mengenai investasi langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara alternatif ke dua dari Badan Legislasi yang berbunyi, kepemilikan industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak dapat dialihkan kepemilikan sahamnya kepada publik.
Dalam kesempatan tersebut anggota Baleg Achmad Rubaie mengatakan bahwa naskah yang digagas oleh Komisi I itu menurutnya terkesan menjustifikasi bahwa negara itu dalam posisi yang lemah.
Sebaiknya, kata Rubaie, kita harus mengasumsikan bahwa Negara itu kuat dan sehat sehingga hal-hak strategis yang ada di dalam draft RUU disebut sebagai industri utama harus steril dari swasta, dalam arti tidak diberi kesempatan kepada swasta.
Dalam hal ini, negara harus menunjukkan wibawa, sehingga pasal-pasal yang terkait dengan swasta perlu dirapikan atau diharmonisasi. Misalnya Pasal 20 ayat 1 (satu) yang berbunyi Industri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat bekerjasama dengan industri swasta nasional utama, seharusnya tidak dimunculkan lagi.
Pandangan yang sama dari anggota Baleg ini menurut Rubaie karena adanya ketidakrelaan kalau Negara ini diposisikan lemah. “ Kita tidak ingin membiarkan negara ini lemah kalau lemah nanti tidak berwibawa dan itu harus dapat diekspresikan di dalam UU ini,” kata Rubaie. Dalam hal pembagian saham dia pun sependapat seratus persen dimiliki Negara.
Menanggapi pasal yang belum disepakati tersebut, Wakil Ketua Komisi I DPR Yahya Sacawirya mengatakan, sebetulnya latar belakang pemikiran antara Baleg dengan Komisi I DPR sama, rasa nasionalisme yang tinggi, bahkan bukan hanya 100 persen, tapi 1.000 persen.
Menurut Yahya, pemikiran itu berdasarkan UU tersebut berlakunya tidak hanya lima tahun kemudian diamandemen, tapi berpikir jauh ke depan untuk 10 sampai 15 tahun.
Komisi I punya pemikiran kalau ke depan sudah mandiri, kita akan membuka peluang peran itu. “Walaupun kesempatan tersebut bukan untuk sekarang, tapi untuk jangkauan ke depan,” katanya.
Kalau suatu saat sepuluh tahun kemudian dinamikanya sudah bagus dan industri sudah bagus apakah kita tidak memberi kesempatan. Dia mencontohkan seperti Perancis, ketika sudah mandiri dibuka sedikit ruang untuk swasta ikut masuk berperan serta. Seperti industri senjata, radar, dimana industrinya sudah mandiri.
Kesimpulannya, kata Yahya, Komisi I dengan Baleg sebetulnya punya pemikiran dasar yang sama bahwa kita ingin semuanya milik Negara, hanya karena Komisi I menginginkan UU itu berlaku lama dapat mengakomodir bila suatu saat industri kita sudah mandiri. (tt) foto:ry/parle
.